JENANG MBAH RAJAK, BUAH PIKIRAN KERAS DAN TEKAD BULAT PENDIRINYA
Memulai sebuah usaha memang bukan perkara mudah, apalagi yang berangkat dari nol dan hanya bermodal tekad dan pikiran. Seperti yang dilakukan oleh Sumo Diharjo yang harus “babat alas” untuk memulai usaha jenang yang ia rintis karena tidak ada sanak saudara yang memiliki usaha pembuatan jenang. “Modal pertama adalah cengkir–kenceng ing pikir (berpikir keras.Red) untuk membuat jenang dengan citarasa tinggi, yang kedua adalah tekad bulat untuk memberanikan diri memulai usaha dari awal,” papar Sumo Diharjo atau kerap disapa Mbah Sumo (88), saat ditemui dikediamannya, Jl Kampar No 7 Cantel Wetan, Sragen, Minggu (4/8/2013).
Sebelum berkembang dan terkenal di Sragen, Sumo Diharjo memulai usahanya di daerah Klaten pada tahun 1965. Lalu ia menjual jenang hasil olahannya dengan cara dijajakan berkeliling hingga sampai di daerah Sragen. “Dulu saya beserta Mbah Sumo sering berkeliling di daerah Sragen karena banyak orang yang membeli jenang, akhirnya Mbah Sumo menetap di Sragen pada tahun 1970,” tutur Rajak (60), putri sulung Mbah Sumo yang saat itu selalu ikut berkeliling menjajakan jenang. Saat memulai usaha pembuatan jenang di Sragen, jenang buatan Mbah Sumo lebih dikenal dengan nama jenang Mbah Rajak, diambil dari nama putri sulungnya yang selalu setia menemaninya membuat jenang hingga sekarang. Saat ini usaha Mbah Rajak telah berkembang dan mampu membuat berbagai macam jenang diantaranya wajik, trasikan, jadah, dan beraneka macam lauk pauk.
“Yang menjadi pembeda dari beraneka jenis jenang tersebut adalah cara pembuatannya,” kata Rajak, yang setiap harinya mengaku mampu menghabiskan setengah kwintal beras ketan untuk membuat jenang. Ia menambahkan, untuk membuat jadah diawali dengan merendam beras ketan yang menjadi bahan dasar pembuatan beragam jenang tersebut. Kemudian beras ketan dikukus hingga setengah matang, lalu didiamkan sambil diaduk. Setelah proses pengadukan, beras ketan dikukus kembali agar tercapai adonan kematangan yang diinginkan. Terakhir, adonan beras ketan ditumbuk sampai halus kemudian dicetak.
Untuk jenang trasikan dan wajik, proses dilakukan dengan menggoreng adonan campuran beras ketan, santan, dan gula jawa dengan wajan besar. Bedanya, trasikan berasal dari beras ketan yang dibiarkan sedikit kasar saat penggilingan sehingga menghasilkan jenang bertekstur agak kasar. “Dalam pembuatannya jenang, semua dilakukan dengan cara tradisional, termasuk bahan bakarnya berasal dari kayu bakar,” tambah Subandi (64) kerabat Mbah Rajak sekaligus yang menjadi pengaduk adonan jenang di penggorengan. “Penggunaan kayu bakar juga dipercaya mampu mempengaruhi aroma dan rasa jenang,” terang Rajak. Setiap harinya usaha pembuatan jenang Mbah Rajak mampu membuat jenang wajik sebanyak empat plat, jenang trasikan tiga plat, dan jadah sebanyak 15 kg.
Mampu Bertahan Setengah Bulan
Keistimewaan dari jenang Mbah Rajak adalah jenang yang mampu bertahan hingga dua minggu, terutama untuk jenis jenang wajik dan trasikan. “Ketahanan jenang dipengaruhi oleh proses pembuatannya, yaitu dengan cara digongso atau digoreng yang membutuhkan waktu hingga empat jam sehingga membuat jenang lebih tanak,” terang Rajak yang sama sekali tidak menambahkan bahan pengawet ke dalam adonan jenangnya. Ia menambahkan, selama ini jenang yang beredar di pasar-pasar adalah jenang yang dibuat dengan cara dikukus, sehingga hanya mampu bertahan hingga dua sampai tiga hari saja.
Berkat keistimewaan tersebut, jenang Mbah Rajak sering dibeli oleh warga Sragen maupun pendatang yang digunakan sebagai oleh-oleh dan dikirim ke berbagai daerah. Selain membuka pesanan di rumah, jenang Mbah Rajak juga dijual di Pasar Bunder Sragen. “Pesanan semakin meningkat saat musim acara nikahan sehabis Bulan Syuro,” tutur Rajak.
Untuk harga, jenang Mbah rajak dijual dengan harga Rp26000/kg untuk jadah, Rp 25000/kg untuk jenang trasikan dan wajik.
Editor : Duratun Nafisah
http://terasolo.com/kuliner/jenang-mbah-rajak.html